Isnin, 9 Mei 2016

Bahasa

Senin, 09 Mei 2016,
JAKARTA, ARRAHMAHNEWS.COM – “Kuliah virtual” kali ini tentang bahasa. Menarik untuk disimak dan diteliti (bagi akademisi) tentang sejumlah fakta bahwa manusia memperlakukan bahasa secara berbeda. Ada “bahasa suci-sakral”, ada pula “bahasa profan-sekuler”. Ada sejumlah kelompok agama yang menganggap “bahasa agama” adalah “bahasa agamis”. Yang saya maksud disini adalah karena bahasa tertentu digunakan dalam teks-teks suci agama, ritual atau liturgi keagamaan, atau dipakai sebagai komunikasi para pendiri dan “leluhur agama”, maka (sebagian) para pengikut agama ini memperlakukan “bahasa agama” tadi sebagai “bahasa agamis” yang “suci-sakral tak berdebu.” Meskipun ada juga kelompok agama yang sangat fleksibel atau longgar dalam memperlakukan bahasa ini. (Baca juga: Sumanto Al Qurtuby: Radikalisme Berkembang Karena Kaum Intelek-Moderat ‘Ngumpet’)
Sejumlah bahasa yang masuk kategori “bahasa agama” yang kemudian dianggap sebagai “bahasa agamis” oleh sebagian pengikutnya adalah, misalnya, Pali untuk umat Budha Therevada, Sanskrit bagi pengikut Budha Mahayana, juga umat Budha di Tibet. Umat Hindu menggunakan Sanskrit dan Tamil. Sebagian kaum Yahudi menganggap Hebrew sebagai “bahasa suci” (leshon ha-kodesh), dan sebagian kelompok Yahudi lain memakai dan menganggap Aram, Yiddish, Kaddish, atau Hebrew Rabbinic sebagai “bahasa agamis”. Umat Kristen lebih kompleks lagi. Ada banyak bahasa yang mereka anggap sebagai “bahasa agama” dan “bahasa agamis”, Bahasa Yunani, Latin, Aram, Koptik, Old Georgian, Classical Armenian, Arab, Slavonic, Romania, dan masih banyak lagi.
Bagaimana dengan umat Islam? Mayoritas menganggap Bahasa Arab sebagai “bahasa agama” dan “bahasa agamis”. Meskipun dulu ada sejumlah kelompok Muslim seperti kaum Nizari menganggap Persi sebagai “bahasa sakral”. Yang mungkin tidak disadari (atau tidak dimengerti) oleh sebagian besar kaum Muslim masa kini adalah Bahasa Arab modern itu tidak sama dengan Bahasa Arab klasik (disebut fushah) yang dipakai dalam penulisan Al-Qur’an, Hadis, dan teks-teks keislaman klasik, maupun sebagai bahasa komunikasi (colloquial) generasi Muslim awal (termasuk tentu saja Nabi Muhammad) dan abad pertengahan. (Baca juga: Prof Sumanto Al Qurtuby: Cintailah Bangsa Sendiri Bukan Mencintai Bangsa Lain)
Kini, Bahasa Arab klasik ini hampir punah karena masyarakat Arab modern sendiri sudah jarang mempraktekkan dalam berkomunikasi sehari-hari dan jarang menggunakannya dalam penulisan buku-buku akademik. Dalam berkomunikasi, mereka lebih suka menggunakan “bahasa Arab pasar” atau “Arab gaul” (‘ammiyah), sementara dalam penulisan akademik lebih menggunakan “Bahasa Arab standar” (Modern Arabic Standard). Dengan kata lain, Bahasa Arab klasik ini semakin tampak “antik” oleh warga Arab sendiri. (Baca juga: SATIRE.. Sumanto Al Qurtuby: Konde dan Tingkah-Polah Kaum Muslim “Unyu-Unyu”)
Celakanya, sebagian umat Islam di Indonesia, khususnya yang “kearab-araban” menganggap “bahasa Arab” gaul sebagai “bahasa Al-Qur’an” atau, lebih parah lagi, “bahasa surga”. Padahal jelas, Nabi Muhammad, Hadis, dan Al-Qur’an tidak menggunakan bahasa Arab jenis ini. Jadi, jangan pernah merasa “lebih Islami”, “lebih saleh” atau “lebih agamis” jika sudah bilang “antum-antum”, “abi-umi”, “akhi-ukhti” dan seterusnya. Kesalehan tidak ditentukan oleh bahasa, melainkan oleh perilaku individual dan sosial kita. (ARN)
Sumber: Akun Facebook Pros Sumanto Al-Qurtuby

Tiada ulasan:

Catat Ulasan