Rabu, 31 Ogos 2016

Tulang dari Aqiqah

Bolehkah Orang Tua Makan Daging Aqiqah Anaknya?


Daging Aqiqah Boleh Dimakan Bolehkah Kita Makan Daging Aqiqah Kita Sendiri Hukum Makan Daging Aqiqah Anak Sendiri Hukum Memakan Daging Akikah Hukum Memakan Daging Aqiqah Sendiri
Bolehkah orang tua makan daging aqiqah anaknya? Apakah ada larangan?
Yang benar, boleh bagi orang tua anak memakan dagig aqiqah anaknya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah tentang masalah aqiqah,
يُجْعَلُ جُدُوْلاً ، يُؤْكَلُ وَيُطْعَمُ
Akhirnya dijadikan tulang (yang tidak dipecah) untuk dimakan dan diberi makan pada yang lainnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah juz ke-5). Judulan atau jadl adalah setiap tulang yang disimpan tanpa dipecah dan tidak bercampur dengan lainnya. Ini disebutkan dalam Al-Qamus Al-Muhith, hlm. 975.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam Syarh Al-Mumthi’ (7: 545), bahwa judulan adalah anggota tubuh hewan berupa tulang yang tidak dipecah. Tulang tersebut diambil dari persendian-persendian.
Disebutkan pula dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, orang yang memiliki hajat aqiqah bisa membagi hasil daging aqiqah dalam bentuk daging mentahan atau yang sudah matang. Hasil tersebut bisa diserahkan pada fakir miskin, tetangga, kerabat atau teman dekat. Keluarganya pun bisa memakan darinya. Ia pun boleh mengundang orang miskin, orang kaya untuk makan-makan di rumahnya. Masalah ini ada kelapangan.
Demikian yang disarikan dari fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam fatawanya Al-Islam Sual wa Jawab no. 20646. Baca juga fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin di sini.
Semoga manfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 28 Muharram 1437 H sore hari saat menanti hujan mengguyur desa.
Artikel Rumaysho.Com
Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.


Sumber: https://rumaysho.com/12287-bolehkah-orang-tua-makan-daging-aqiqah-anaknya.html

Doa Aqiqah

Doa yang Dibaca Ketika Menyembelih Aqiqah


    
Apa yang dibaca saat menyembelih aqiqah? Apakah disyari’atkan pula menghadirkan bayi saat aqiqah disembelih?
Yang disyari’atkan ketika aqiqah sama seperti yang disyari’atkan ketika qurban. Ada tuntunan membaca:
  • Bismillah
  • Takbir, Allahu Akbar
  • Aqiqah min … (sebut nama anak yang akan diaqiqahi)
Dasar dari hal ini adalah hadits dari Al-Baihaqi dan selainnya,
 أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: عق عن الحسن والحسين شاتين يوم السابع وأمر أن يماط عن رأسه الأذى وقال اذبحوا على اسمه وقولوا بسم الله والله أكبر اللهم لك وإليك هذه عقيقة فلان
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan dua ekor kambing pada hari ketujuh, dan diperintahkan agar rambut kepalanya dicukur. Lalu beliau berkata, sembelihlah atas namanya, ucapkanlah, “Bismillah wallahu akbar. Allahumma laka wa ilaik. Hadzihi aqiqah fulan.” (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, ini milik-Mu dan untuk-Mu. Ini adalah aqiqah untuk si fulan.”
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya, sebagaimana dalam qurban (udhiyah) dibacakan bismillah, maka dalam aqiqah juga demikian dibaca, “Bismillah, ‘aqiqah fulan (disebut nama bayinya, pen.).”
Bukan hanya diucapkan do’a khusus pada si buah hati pada penyembelihan aqiqah, namun juga selayaknya memuji dan bersyukur pada Allah atas karunia anak yang telah diberi. Hendaklah mendoakan keberkahan untuk si buah hati.
Contohilah Al-Hasan Al-Bashri …
Al-Hasan Al-Bashri pernah mengajarkan kepada seseorang mengenai ucapan pada orang yang baru mendapatkan buah hati:
Barokallahu laka fil mawhuubi laka wa syakarta al waahib, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu” (Semoga Allah memberkahimu anak yang diberikan kepadamu. Semoga engkau pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta engkau dikaruniai kebaikannya).
Tidak menjadi syarat menghadirkan buah hati ketika penyembelihan aqiqah. Karena tidak ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mencontohkan seperti itu.

Wallahu a’lam.



Sumber: https://rumaysho.com/14233-doa-yang-dibaca-ketika-menyembelih-aqiqah.html?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+rumaysho%2FrFAC+%28Feed+Rumaysho.com%29

Selasa, 23 Ogos 2016

Azan dan Iqamah

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ ﷺ: " إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بِأَرْضِ قِيٍّ فَحَانَتِ الصَّلاةُ فَلْيَتَوَضَّأْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً فَلْيَتَيَمَّمْ، فَإِنْ أَقَامَ صَلَّى مَعَهُ مَلَكَاهُ، وَإِنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ صَلَّى خَلْفَهُ مِنْ جُنُودِ اللَّهِ مَا لا يُرَى طَرَفَاهُ "
Dari Salmaan Al-Faarisiy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah  : “Apabila seseorang berada di tanah tandus tak berpenghuni, lalu tiba waktu shalat, hendaklah ia berwudlu. Apabila ia tidak mendapatkan air, hendaklah bertayammum. Apabila ia mengumandangkan iqamat, maka akan shalat bersamanya dua orang malaikat. Apabila ia mengumandangkan adzan dan iqamat, maka akan shalat di belakangnya tentara-tentara Allah yang tidak terlihat dua ujungnya (yaitu sangat banyak – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq 1/510-511 no. 1955; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih At-Targhiib 

Ahad, 14 Ogos 2016

Doa kepada orang sudah mati

ALASAN BERDO’A KEPADA ORANG YANG TELAH MATI DAN BANTAHANNYA

Hukum Meminta Pertolongan Kepada Jin Dan Malaikat Hukumbmeminta Pertolongan Pada Allah Melalui Perantara Tangan Berjarak Atau Dempet Ketika Berdoa Almanhaj Or Id Hukum Meminta Bantuan Kepada Orang Yg Sudah Meninggal Hukum Minta Doa Sama Wali Yang Sudah Meninggal
ALASAN BERDOA KEPADA ORANG YANG TELAH MATI DAN BANTAHAN-NYA
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Doa termasuk ibadah terbesar yang menghubungkan seorang hamba dengan Penciptanya. Orang yang berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat ketundukan, merendehkan diri, dan berlindung kepada Dzat yang menguasai dan mengatur segala urusan.
Karena do’a memiliki kedudukan tinggi, maka Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk berdo’a secara langsung kepada-Nya dan Allâh Azza wa Jalla juga berjanji akan mengabulkan-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan agar para hamba-Nya berdo’a kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara penyebutan nama-nama-Nya al-Husnâ (yang maha indah). Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allâh al-asmâ-ul husna [Nama-nama yang Maha Indah], maka berdo’alah kepada–Nya dengan menyebut al-asmâ-ul husna itu . [Al-A’raf/7: 180]
Demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengidzinkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara ‘dengan menyebutkan iman atau amal shalihnya’, atau dengan perantara ‘doa orang shalih yang masih hidup’, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Tetapi sebagian orang sekarang meninggalkan wasilah atau perantara yang disyari’atkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, kemudian menggunakan wasilah (perantara) yang tidak dituntunkan, bahkan sebagiannya masuk dalam kategori perbuatan syirik. Seperti berdo’a meminta kepada orang-orang yang sudah mati, baik ia seorang Nabi, wali, orang shalih, atau lainnya. Mereka memiliki berbagai macam syubhat (kerancuan/kesamaran) di dalam mendukung perbuatan mereka ini.
Maka sebagai bentuk saling menasehati sesama kaum Muslimin, dan amar ma’ruf serta nahi mungkar, kami akan sebutkan sebagian dari syubhat tersebut dan sekaligus bantahannya. Mengingat syubhat-syubhat itu begitu banyak sementara halaman terbatas, maka kami hanya menyampaikan beberapa syuhbat saja. Adapun bantahan semua syubhat itu sudah ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dahulu maupun sekarang. Semoga tulisan menjadi penerang dalam meniti jalan kebenaran.
Inilah diantara syubhat tersebut :
1. Berdo’a kepada orang-orang shalih dan istighâtsah kepada mereka, bukan sebentuk ibadah kepada mereka, tetapi ini tawassul dengan mereka (menjadikan mereka sebagai wasilah).
Jawaban :
Perkataan mereka ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan gamblang yang menamakan doa permintaan sebagai ibadah. Di antara-Nya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿٤٠﴾بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allâh kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu berdoa (menyeru (tuhan) selain Allâh; jika kamu orang-orang yang benar!” (Tidak), tetapi ha-Nya Dialah yang kamu seru, maka Dia akan menghilangkan bahaya yang karena-Nya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki. Dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allâh). [al-An’âm/6:40-41]
Kata doa dalam ayat ini adalah doa permintaan. Ini nampak jelas dari rangkaian kalimat dalam ayat ini, sebagaimana ditunjukkan kalimat “maka Dia akan menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya”, karena menghilangkan bahaya adalah bentuk pengabulan doa.
Juga firman Allâh Azza wa Jalla.
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ﴿١٣﴾إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ
“Dan orang-orang yang kamu berdoa (menyeru/sembah) selain Allâh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu berdoa atau menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. [Fâthir/35: 13-14]
Ayat ini membicarakan tentang tidak mendengar-Nya tuhan-tuhan musyrikin terhadap doa orang-orang yang berdoa kepada mereka, maka jelas bahwa doa di sini adalah doa permintaan.
Oleh karena itu bahwa doa merupakan ibadah. Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata: Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa adalah ibadah”, kemudian beliau membaca (firman Allâh) ((Dan Robbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguh-Nya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadahah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.)) (al-Mukmin/40:60) [HR. Tirmidzi, no: 3247; Ahmad 4/267; Bukhari di dalam Adabul Mufrad, no: 1757. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni]
Karena doa merupakan ibadah, maka barangsiapa berdoa kepada selain Allâh berarti dia telah melakukan kesyirikan. Allâh Azza wa Jalla memberitakan dengan tegas dan jelas bahwa berdoa kepada selain-Nya merupakan kesyirikan, dan menghukumi pelakunya sebagai orang musyrik dan kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Jika kamu menyeru mereka (siapa saja selainAlloh-pen), mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35:14]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa berdoa kepada ilah yang lain di samping Allâh, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Robbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. [al-Mukminun/23:117]
Adapun menamakan perbuatan berdoa kepada orang-orang yang telah mati dengan nama tawassul, maka ini merupakan sebentuk tipu daya syaithan dalam menyesatkan manusia.
Karena tawassul dalam berdoa kepada Allâh, ada yang masyru’ (disyari’atkan oleh Allâh dan Rasul-Nya). Seperti berdoa kepada Allâh dengan menyebut nama-nama-Nya Yang Maha Indah.
Ada juga tawassul yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan kemusyrikan. Seperti berdoa kepada Nabi atau para wali atau lain-Nya dengan harapan mereka akan me-Nyampaikan doa itu kepada Allâh.
Dan ada juga yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan bid’ah. Seperti berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan perantara jâh (kedudukan/kemuliaan) seorang Nabi atau wali atau lainnya.
Maka menamakan perbuatan syirik dengan tawassul, atau tabarruk, atau mencari syafa’at, adalah penamaan yang batil dan sia-sia. Karena perubahan nama tidak mengubah hakekatnya. Bagi orang berakal yang menginginkan keselamatan dalam kehidupannya maka hendaknya mencukupkan dengan perkara yang disyari’atkan, dan meninggalkan perkara yang dilarang.
2. Nash-nash yang melarang berdoa kepada selain Allâh maksudnya melarang berdoa kepada patung-patung, karena itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Adapun orang-orang yang berdoa kepada orang-orang shalih, bukan orang-orang musyrik.
Jawabannya :
Sesungguhnya orang-orang musyrik jahiliyah dahulu tidak hanya berdoa kepada patung, tetapi juga berdoa kepada makhluk yang berakal, seperti malaikat, jin, nabi, dan orang yang shalih.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴿٥٦﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Katakanlah, “Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allâh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” Orang-orang yang mereka berdoa kepada-Nya itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [al-Isra’/17:56-57]
Ayat ini -tidak diragukan- memberitakan bahwa tuhan-tuhan yang disembah dan dijadikan tempat berdoa oleh orang-orang musyrik adalah makhluk yang berakal. Ini terlihat jelas dari sifat-sifat tuhan yang disembah itu. Perhatikanlah sifat-sifatnya berikut ini :
• Mencari jalan menuju Rabb mereka, yaitu beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
• Mengharapkan rahmat-Nya
• Dan takut terhadap adzab-Nya.
Oleh karena itu “tuhan-tuhan” yang disembah oleh orang-orang musyrik itu bisa jadi lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla daripada orang-orang musyrik yang menyembah mereka.
Para Ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa mereka yang disembah oleh manusia itu :
1. Diriwayatkan dari perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa mereka adalah para jin yang disembah oleh manusia, lalu para jin itu masuk Islam sedangkan manusia tidak menyadarinya dan tetap menyembah mereka. [HR. Bukhari, no. 4714; Muslim, no. 3030]
2. Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud Rahiyallahu anhu, dan Abdurrahman bin Zaid rahimahullah, bahwa mereka adalah para malaikat yang disembah oleh manusia. [HR. Thabari, 14/630]
3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, dan Mujâhid rahimahullah , bahwa mereka adalah ‘Uzair, Nabi Isa Alaihissallam, Ibunda Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan para malaikat. [HR. Thabari, 14/630]
Semua penafsiran dari Salaf di atas tidak bertentangan, karena ayat tersebut mencakup semuanya dan karena yang dinilai adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab. Alasan lainnya adalah orang yang menafsirkan dengan malaikat atau jin, tidak bermaksud mengkhususkannya, tetapi itu hanya semata-mata sebagai contoh. Dengan keterangan ini,nampak jelas bahwa orang-orang musyrik tidak hanya menyembah kepada patung, tetapi juga menyembah kepada makhluk yang berakal.
Selain itu, penyembahan terhadap patung yang dilakukan oleh banyak orang sesungguhnya bukan karena dzat patung itu, tetapi patung itu dianggap sebagai simbol dari tuhan ghaib yang mereka yakini dan atau mereka jadikan patung-patung itu sebagai perantara kepada Allâh Azza wa Jalla.
Ar-Razi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa maksud ayat ini adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik. Kami telah jelaskan bahwa kaum musyrik zaman dahulu mengatakan, ‘Kita tidak pantas menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , maka kita menyembah kepada hamba-hamba Allâh yang dekat dengan-Nya, yaitu para malaikat’. Kemudian mereka membuat patung malaikat tersebut dan menyembahnya dengan dilandasi pemikiran tersebut. Maka Allâh Azza wa Jalla membantah kebatilan perkataan mereka dengan ayat ini, yaitu Allâh berfirman :
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ
‘Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allâh’,
Yang dimaksudkan bukanlah patung-patung, karena Allâh berfirman tentang sifat mereka : ‘Orang-orang yang mereka berdoa kepada-Nya itu, mereka sendiri mencari jalan menuju Rabb’. Dan ‘mencari jalan menuju Allâh Azza wa Jalla ’ sama sekali tidak dilakukan oleh patung”. [Tafsîr ar-Râzi, 20/232]
Ar-Razi rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya orang yang berakal tidak akan menyembah patung hanya karena patung itu terbuat dari kayu atau batu. Tetapi mereka menyembahnya karena keyakinan bahwa patung-patung itu merupakan patung-patung bintang-bintang, atau roh-roh langit, atau patung para Nabi dan orang-orang shalih yang telah meninggal. Dan maksud mereka di dalam penyembahan kepada patung-patung itu adalah mempersembahkan ibadah-ibadah itu kepada perkara-perkara itu (tuhan-tuhan ghoib-pen) yang mereka jadikan patung-patung itu sebagai gambar-gambar (simbol-simbol) untuk-Nya”. [Tafsir Ar-Razi, 26/241]
Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa berdoa kepada selain Allâh, baik kepada malaikat, jin, Nabi, wali, pohon, binatang, batu, atau lainnya, merupakan perbuatan syirik, menyekutukan Allâh k . Karena doa adalah ibadah, dan ibadah adalah hak Allâh semata.
3. Khawarij telah menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin. Demikian juga kamu (yang menuduh kaum Muslimin yang berdoa kepada orang-orang shalih sebagai orang-orang musyrik) menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin.
Jawaban :
Untuk menjawab syubhat ini perlu diperhatikan beberapa perkara:
Pertama:
Hukum-hukum al-Qur’ân berlaku umum sampai hari kiamat walaupun berkaitan dengan sebab yang khusus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah”. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur’ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya). [al-An’âm/6: 19]
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Dan al-Qur’ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” supaya dengannya aku mengancam kamu wahai penduduk Mekah, ‘dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’ân (kepadanya)’, yaitu orang-orang yang telah sampai kepadanya al-Qur’ân, baik non Arab maupun umat-umat lain sampai hari kiamat”. [Tafsir al-Baghawi, 3/133]
Oleh karena itu dalam kaedah ushul fiqih disebutkan :
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Penilaian adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan khususnya sebab.
Yaitu bahwa nash-nash umum yang datang dengan sebab-sebab yang khusus, hukumnya tetap berlaku umum sampai hari kiamat.
Kedua:
Berdasarkan point di atas, maka barangsiapa melakukan perbuatan kaum musyrik zaman dahulu, seperti berdoa kepada Nabi, wali, atau orang shalih, selain berdoa kepada Allâh, maka tidak ada halangan menerapkan ayat-ayat yang turun berkenaan orang-orang musyrik zaman dahulu terhadap orang-orang di zaman sekarang yang melakukan perbuatan serupa.
Karena perbuatan mereka sama, yaitu syirik, maka hukumnya juga sama, namun menetapkan vonis kafir terhadap orang Mukmin tertentu yang terjatuh dalam dosa syirik, harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak ada penghalang, sebagaimana penjelasan para Ulama Ahlus Sunnah.
Ketiga:
Kalau ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik zaman dahulu tidak boleh diterapkan terhadap orang-orang zaman sekarang, padahal perbuatan mereka sama, maka ini akan membawa konsekwensi yang sangat tidak benar. Yaitu bahwa seluruh hukum syari’at Islam tidak berlaku lagi di zaman ini, karena semua hukum turun dengan sebab khusus pada permasalahan yang telah lewat. Tentu hal ini tidak akan dikatakan oleh orang yang beriman.
Keempat:
Adapun menyamakan para da’i tauhid dengan Khawarij, maka ini adalah qiyas ma’al fariq (menyamakan sesuatu yang tidak sama).
Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menjelaskan sifat Khawarij dengan mengatakan, “Mereka menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin.” [Riwayat Imam Bukhari dengan tanpa sanad, dan disebutkan sanadnya oleh imam Thabari dengan sanad yang shahih]
Marilah kita memperhatikan salah satu manhaj Khawarij, lalu kita bandingkan dengan perbuatan para da’i tauhid, sehingga akan menjadi jelas perbedaan antara dua kelompok tersebut.
Sesungguhnya di antara kayakinan Khawarij –kecuali firqah Najdât dari mereka- adalah mengkafirkan pelaku dosa besar dan pelaku dosa besar ini akan kekal di neraka. Dengan dasar keyakinan ini, mereka di zaman dahulu menjatuhkan vonis kafir terhadap khalifah Utsmân Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu serta orang-orang yang membelanya, karena dianggap telah menetapkan hukum dengan selain apa yang Allâh turunkan. Oleh karena itu akhirnya mereka memberontak kepada khalifah Utsman Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu . Mereka berdalil dengan firman Allâh:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [at-Taubah/9: 12]
Orang-orang Khawarij memvonis khalifah Utsman Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu sebagai pemimpin orang-orang kafir dari kalangan musyrikin yang merusak sumpah janji mereka dan mencerca agama Allâh. Dengan sikap ini, maka mereka berhak disifati dengan ‘menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin’.
Adapun para da’i tauhid, apakah mereka menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin, orang-orang yang bertauhid, orang-orang yang memurnikan ibadah mereka kepada Alah Pencipta langit dan bumi, orang-orang yang meninggalkan kemusyrikan dan bid’ah?
Atau mereka menerapkannya terhadap orang-orang yang menyatakan Islam, namun terjerumus dalam kemusyrikan, seperti berdoa dan meminta tolong kepada para penghuni kubur. Sehingga ada persamaan antara mereka dahulu dengan mereka sekarang, yaitu perbuatan syirik.
Orang yang mengetahui fakta dan obyektif dalam bersikap, dia akan tahu bahwa yang dilakukan oleh para da’i tauhid adalah yang kedua.
Dengan demikian apakah termasuk sikap adil dan obyektif menyamakan perbuatan mereka dengan perbuatan Khawarij yang dilakukan tanpa kebenaran dan dalil syari’at yang bisa diterima ? Maka jelas bahwa para da’i tauhid terbebas dari tuduhan yang tidak benar itu.
Inilah di antara syubhat yang tersebar dan menghalangi umat dari kebenaran dengan sedikit bantahannya. semoga membuka hati kita untuk mengikuti kebenaran. Hanya Allâh Yang Memberi Taufiq.
(Tulisan ini banyak mengambil dari tesis Ustadz Abdullah Zaen Lc, MA yang berjudul Mazhahir al-Inhiraf fi Tauhid al-Ibadah lada Ba’dh Muslimi Indonesia wa Mauqif al-Islam minha)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Sumber: https:
//almanhaj.or.id/3858-alasan-berdoa-kepada-orang-yang-telah-mati-dan-bantahannya.html

Selasa, 9 Ogos 2016

Bid`ah

Bid’ah Menghambat Istighfar

Rasulullah Shollallaahu Alaihi Wasallam Bersabda :
إنَّ الله حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah Menutup Taubat dari Semua Pelaku Bid’ah Hingga ia Meninggalkan Kebid’ahannya (H.R atThobarony, dan al-Haitsamy Menyatakan bahwa Seluruh Perawinya adalah Perawi as-Shahih kecuali Harun bin Musa al-Farawy yang Tsiqah).
Mengapa Pelaku Kebid’ahan Terhalangi dari Taubat ???
Karena ia Tidak Mengakui bahwa Bid’ah yang ia Lakukan sebagai Suatu Kesalahan dan Dosa. Bagaimana ia Bisa Bertaubat dari Sesuatu yang Dia Anggap bukan Dosa ???
Sufyan Ats-Tsaury Rahimahullah Menyatakan: ”Bid’ah Lebih Disukai oleh Iblis dibandingkan Kemaksiatan, karena Kemaksiatan Memungkinkan untuk Bertaubat, sedangkan Kebid’ahan (Sulit Diharapkan) untuk Bertaubat”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah karya alLaalikaai (1/132).
Al-Imam Al-Auza’i Rahimahullah Menyatakan: “Iblis Bertemu dengan Pasukannya dan Berkata : Dari Arah Mana kalian Datangi Anak Adam? Mereka berkata: Dari Berbagai Arah. Iblis Bertanya: Bisakah kalian Datangi Mereka dari (Celah) istighfar? Pasukannya Berkata: Kami Dapati istighfar itu Selalu Bergandengan dengan Tauhid. Iblis berkata: Datangilah Mereka dari Arah Dosa yang Mereka Tidak Akan Beristighfar.
Al-Imam Al-Auza`i Rahimahullah Kemudian Menyatakan : Karena itulah Kemudian Mereka Menyebarkan AlAhwaa (Kebid’ahan – Kebid’ahan). (Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah karya al-Laalikai (1/131).
Dikutip dari Buku “Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat.”
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah.